Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Menulis adalah Peluru Kata untuk Merebut Kemerdekaan Swasembada Aspal 2030
13 jam lalu
Mari menulis, mari bersuara, mari melawan dengan kata. Jangan biarkan diam menjadi pilihan, karena diam adalah bentuk ketakutan.
***
Menulis bukan sekadar merangkai kata, melainkan menyalakan api perjuangan. Kata-kata bisa menjadi peluru tajam yang menembus dinding ketidakpedulian para pemimpin. Ketika senjata telah usang dan peperangan berakhir, tulisan akan tetap abadi dalam sejarah. Aspal Buton menunggu para penulis pejuang yang berani bersuara. Karena diam di hadapan ketidakadilan adalah pengkhianatan terhadap bangsa sendiri.
Aspal Buton adalah anugerah Allah yang seolah dikutuk oleh bangsa sendiri. Kita lebih memilih aspal impor daripada kekayaan yang ada di tanah sendiri. Inilah bentuk penjajahan baru yang hadir tanpa meriam, tanpa tank, hanya dengan kontrak impor aspal. Ironisnya, bangsa ini bertepuk tangan atas penjajahan yang disamarkan sebagai pembangunan. Padahal, itu hanya jalan menuju keterikatan ekonomi.
Delapan puluh tahun merdeka, namun Indonesia belum merdeka dalam aspal. Apakah ini yang dimaksud Soekarno sebagai “dijajah oleh bangsa sendiri”? Kita menyerahkan kedaulatan jalan kepada pihak asing, seolah rakyat tidak berhak berjalan di jalan yang kokoh dari tanahnya sendiri. Aspal Buton menangis dan merintih, sementara para pemimpin lebih memilih diam. Diam yang mematikan masa depan bangsa.
Satu abad sejak Aspal Buton ditemukan, target swasembada 2030 digembar-gemborkan. Namun apa artinya target jika langkah awal saja belum terlihat? Tahun pertama kepemimpinan berjalan, tetapi pabrik ekstraksi modern belum juga berdiri. Semua masih sebatas wacana di atas kertas. Pertanyaan pun muncul: apakah target ini sekadar janji yang dikhianati?
Swasembada aspal 2030 bukan sekadar program teknis, tetapi medan perjuangan. Ia adalah simbol melawan penjajahan impor aspal yang menjerat bangsa. Setiap ton aspal impor adalah mata rantai yang mengekang kedaulatan kita. Setiap kali pemimpin memilih diam, itu berarti ia rela menukar martabat bangsa dengan kenyamanan sesaat. Apakah bangsa ini akan terus diperbudak oleh kepentingan asing?
Tulisan-tulisan tentang Aspal Buton adalah senjata sunyi yang tidak boleh padam. Di zaman digital, perang tidak lagi dengan peluru, tetapi dengan kritik, opini, dan informasi. Kita harus melawan propaganda yang membuat rakyat terlena dengan impor aspal. Kita harus membangunkan bangsa dari tidur panjangnya. Karena jika semua diam, penjajahan akan semakin mengakar.
Kita memang manusia, dan manusia bisa saja khilaf. Tetapi jika kesalahan itu dibiarkan terus selama delapan dekade, itu bukan lagi khilaf. Itu adalah sistem yang sengaja dibiarkan untuk menguntungkan pihak tertentu. Ini adalah politik yang bersekongkol dengan mafia impor aspal. Dan politik semacam ini adalah pengkhianatan terang-terangan terhadap bangsa.
Rakyat menunggu keberanian dari para pemimpin. Tetapi ketika para pemimpin lebih memilih diam, rakyat harus belajar berdiri sendiri. Karena perjuangan tidak boleh menunggu restu dari atas. Perjuangan lahir dari nurani yang tidak tahan melihat bangsanya dipermainkan. Dan perjuangan itu kini bernama swasembada aspal 2030.
Jalan adalah urat nadi bangsa. Tanpa jalan yang kokoh, distribusi pangan, pendidikan, dan kesehatan hanya akan jadi mimpi. Apa gunanya makan bergizi jika anak-anak harus berjalan di jalan rusak menuju sekolah? Apa gunanya rumah sakit jika ambulans terjebak di jalan berlubang? Semua itu hanya bisa dijawab oleh swasembada aspal 2030.
Swasembada aspal 2030 adalah martabat. Ia adalah cermin apakah bangsa ini benar-benar berdaulat atau hanya berpura-pura. Tidak ada bangsa besar yang bergantung pada impor aspal untuk urat nadinya sendiri. Tidak ada bangsa kuat yang membiarkan sumber dayanya terkubur sia-sia. Aspal Buton adalah harga diri bangsa yang harus diperjuangkan sampai tetes darah terakhir.
Menulis tentang Aspal Buton adalah melawan keheningan yang mencekam. Karena di balik diam para pemimpin, ada kepentingan yang tidak kasat mata. Ada mafia impor aspal yang nyaman dengan status quo. Mereka hidup dari setiap tetes aspal impor yang masuk. Dan karena itu, mereka benci pada kata “swasembada”.
Namun perjuangan tidak boleh padam hanya karena kekuatan gelap itu. Sejarah membuktikan, setiap penjajahan bisa dikalahkan oleh tekad rakyat. Kita tidak butuh senjata untuk melawan, cukup dengan keberanian mengungkap kebenaran. Kata-kata adalah obor yang menyalakan kesadaran. Dan kesadaran itu bisa menjadi badai perubahan.
Jika swasembada aspal 2030 gagal, maka jangan pernah bermimpi tentang Indonesia Emas 2045. Karena jalan emas itu harus dibangun dengan aspal bangsa sendiri. Tanpa swasembada, kita hanya menunggu giliran dijajah habis-habisan. Indonesia Emas akan menjadi dongeng murahan yang tidak pernah terwujud. Dan anak cucu kita akan mewarisi rasa malu yang dalam.
Perjuangan ini tidak untuk diri kita semata. Ia adalah warisan untuk anak cucu, agar mereka berjalan di jalan yang kokoh dari tanah airnya sendiri. Agar mereka tahu bahwa nenek moyang mereka tidak hanya pandai berpidato, tetapi juga berani berjuang. Agar mereka sadar bahwa merdeka berarti berdiri di atas kaki sendiri. Dan kaki itu kini berpijak di tanah Buton.
Maka, mari menulis, mari bersuara, mari melawan dengan kata. Jangan biarkan diam menjadi pilihan, karena diam adalah bentuk ketakutan. Suara kecil kita akan menggema jika disatukan. Dan gema itu akan mengguncang kursi kekuasaan yang nyaman dengan impor aspal. Inilah perjuangan tanpa senjata: kemerdekaan swasembada aspal 2030.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Rumah Terakhir
1 hari laluArtikel Terpopuler